Oleh: M. Yusuf Amin Nugroho
Shalat
tarawih adalah ibadah yang khusus dikerjakan pada bulan Ramadhan, waktunya
adalah setelah shalat Isya. Shalat Tarawih bisa dikerjakan berjamaah, maupun
dengan cara munfarid (sendiri). Shalat Tarawih hukumnya sunnah muakad. Semua
keterangan diatas tidak terdapat ikhtilaf atau disepakati oleh jumhur ulama,
termasuk dari kalangan NU maupun Muhammadiyah.
Ikhtilaf
bab shalat Tarawih terdapat pada cara pelaksanaannya, lebih khusus lagi pada
jumlah raka’atnya. Di kalangan warga NU shalat tarawih biasa dikerjakan dengan
20 raka’at dan diakhiri dengan 3 raka’at witir. Sementara di kalangan warga
Muhammadiyah tarawih biasa dilaksanakan 8 raka’at, dan diakhiri dengan 3 raka’at
witir. Pada pelaksanaan shalat witir yang menutup shalat tarawih pun terdapat
ikhtilaf. Kalangan Muhammadiyah melakukan shalat witir tiga raka’at sekali
salam, dan tidak ada qunut pada separuh terakhir bulan Ramadhan. Sedangkan NU
melakukan shalat witir 3 raka’at dengan dua raka’at salam, dan satu raka’at
salam, juga qunut witir pada separuh terakhir bulan Ramadhan. Apa yang sudah dipraktekkan
di kalangan Muhammadiyah tersebut sebenarnya berbeda dengan apa yang
diterangkan dalam kitab Putusan Tarjih Muhammadiyah mengenai jumlah raka’at
shalat tarawih. Dalam HTP diterangkan bahwa jumlah rakakat shalat tarawih plus
witir tidak harus 11 raka’at (sudah termasuk witir), tetapi bisa kurang dari
itu, asalkan jumlah raka’atnya gasal. Demikian pula untuk shalat witir, Tarjih
Muhammadiyah memberikan beberapa pilihan, tidak hanya 3 raka’at saja.
Berbeda
dengan Muhammadiyah, kalangan NU juga memiliki ciri khas tersendiri dalam
mengerjakan shalat tarawih dan witir, khususnya yang dikerjakan berjamaah. Ciri
khas, meski tidak dikerjakan oleh semua warga NU, yakni ada pada suratan yang
dibaca setelah membaca al-Fatihah, biasanya dimulai dari surat at-Takastur
sampai al-Lahab untuk shalat tarawih.
Pada
bab ini, penulis hanya akan membahas ikhtilaf shalat tarawih dan witir, beserta
raka’at serta suratan yang dibaca pada shalat tarawih dan witir. Untuk
pembahasan mengenai qunut witir sudah kami bahas pada bab tersendiri, bersama-sama
dengan qunut subuh dan qunut nazilah.
1. Muhammadiyah
Dalam
Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah pembahasan masalah shalat tarawih
dimasukkan pada sub bab tersendiri, disatukan dengan tuntunan mengenai shalat lail. HTP menjelaskan bahwa shalat lail
adalah shalat sunat yang biasa dilakukan oleh Nabi saw pada waktu malam hari.
Menurut Muhammadiyah shalat lail
disebut juga shalat tahajjud, qiyamul-lail
dan qiyamu Ramadlan. Di samping
itu juga sering disebut dengan shalat witir. Shalat lail hukumnya sunnah,
tetapi tarjih lebih senang menggunakan istilah ‘tathawwu’ untuk ragam shalat semacam ini.
Dalam
tanya jawab masalah agama di Majalah suara Muhammadiyah pernah disinggung
masalah shalat tarawih. Di sana ditulis, bahwa shalat lail disebut shalat tahajjud
karena, shalat tersebut dilaksanakan setelah bangun tidur. Disebut shalat witir
karena dalam melaksanakan shalat tersebut diakhiri dengan witir (bilangan
ganjil). Disebut qiyamul-lail karena,
shalat tersebut dilaksanakan hanya pada waktu malam. Disebut qiyamu Ramadlan karena shalat tersebut
dilakukan pada bulan Ramadlan dan istilah yang sering digunakan untuk shalat
lail di bulan Ramadlan adalah shalat tarawih karena, dalam shalat malam
tersebut dilaksanakan dengan bacaan yang bagus dan lama dan setelah empat
raka’at pertama dan kedua ada istirahat sebentar.
Untuk
mempermudah kita memahami pembahasan shalat
lail karena dalam HPT diterangkan dengan panjang lebar, maka alangkah
baiknya pembahasannya ini kita pecah menjadi tiga, yakni, shalat tarawih, dan
shalat witir.
a.
Shalat
Tarawih
Jumlah
raka’at yang dituntunkan Tarjih dalam shalat tarawih adalah 11 raka’at,
dikerjakan dengan cara dua-dua raka’at (sebanyak 4 kali) ditambah tiga raka’at
witir.
Pendapat
tersebut didasarkan pada hadis Rasulullah saw yang artinya:
Beralasan hadis Ibnu Umar
yang mengatakan: “Seorang lelaki bangkit
berdiri lalu menanyakan: “Bagaimana cara shalat malam, hai Rasulullah?” Jawab
Rasulullah: “Shalat malam itu dua raka’at
dua raka’at. Jika engkau khawatir akan terkejar shubuh, hendaklah negkau
kerjakan witir atau satu raka’at saja.” (HR. Jama’ah)
Juga berdasar pada hadist Ibnu
Abbas, yang artinya:
“Lalu aku berdiri di samping
rasulullah; kemudian ia letakkan tangan kanannya pada kepala saya dan digangnya
telinga kanan saya dan ditelitinya, lali ia shalat dua raka’at kemudian dua raka’at
lagi, lalu dua raka’at lagi kemudian dua raka’at, lalu shalat witir, kemudian
ia tiduran menyamping sehingga datang bilal menyerukan adzan. Maka bangunlah ia
dan shalat dua raka’at singkat-singkat, kemudian pergi shalat shubuh. (HR. Muslim)
Juga
hadis Rasulullah yang artinya:
“Diriwayatkan
dari Zaed bin Khalid al-Juhany ia berkata, sungguh saya mencermati shalat
Rasulullah saw. pada suatu malam, beliau shalat dua raka’at yang ringan-ringan,
kemudian shalat dua raka’at yang panjang (lama) sekali, lalu shalat dua raka’at
yang lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya, lalu shalat dua raka’at yang
lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya, lalu shalat dua raka’at yang lebih
pendek dari dua raka’at sebelumnya, lalu shalat dua raka’at yang lebih pendek
dari dua raka’at sebelumnya, lalu kemudian melakukan witir. Maka demikianlah,
shalat tigabelas raka’at.”
[HR Abu Dawud, bab fi Shalat al-Lail]
Dalil
lain yang digunakan Dewan Tarjih Muhammadiyah adalah hadist dari Abu Salamah
yang artinya sebagai berikut:
“Diriwayatkan
dari Abu Salamah Ibn ‘Abdul Rahman bahwa, ia bertanya kepada ‘Aisyah r.a
bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadlan. ‘Aisyah menjawab: Baik di
bulan Ramadlan ataupun bukan bulan Ramadlan Rasulullah saw melakukan shalat
(lail) tidak lebih dari sebelas raka’at. Beliau shalat empat raka’at; dan
jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan.
Kemudian shalat lagi empat raka’at; (demikian pula) jangan ditanyakan tentang
baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Lalu beliau shalat tiga
raka’at.”
(HR al-Bukhari, Kitab Shalat at-Tarawih, Bab Man Qama Ramadlan)
Mengenai
cara pelaksanaannyanya, tentang berapa raka’at lalu salam, HPT menyatakan: “Jika
engkau hendak mengerjakan shalat dengan cara lain, maka yang sebelas raka’at
itu boleh engkau kerjakan dua-dua raka’at, atau empat-empat raka’at seperti di
atas, atau di enam raka’at.” Di samping juga dinyatakan: “Atau delapan raka’at
terus menerus dan hanya duduk pada penghabisan salam.”
Dalil
yang dijadikan rujukan adalah hadis Abdullah bin Abu Qais dan hadist Abi
Salamah, yang artinya:
Abdullah
bin Abu Qais bertanya kepada Aisyah “Berapa raka’at Rasulullah shalat witir?” Ia
menjawab: “Ia kerjakan witir empat lalu tiga atau enam lalu tiga, atau delapan
lalu tiga atau sepuluh lalu tiga, ia tak pernah berwitir kurang dari tujuh raka’at
dan tidak lebih dari tiga belas.” (HR. Abu Dawud)
Selain
itu juga berdasar pada hadis Abu Salamah, yang artinya:
Pernah Abu Salamah
bertanya kepada Aisyah tentang shalat Rasulullah, maka ia menjawab: “Ia kerjakan tiga belas raka’at. Ia shalat
delapan raka’at kemudian shalat witir lalu shalat dua raka’at sambil duduk
kalau ia hendak ruku’ ia bangkit lalu ruku’. Kemudian dari pada itu ia shalat
dua raka’at antara adzan dan iqamah pada shalat shubuh. (HR. Muslim)
Diterangkan
riwayat Abu Dawud dari Qatadah, kadanya: “Nabi shalat delapan raka’at dengan
tidak duduk (tahiyat) kecuali pada raka’at yang kedelapan. Dalam duduk itu
membaca dzikir dan doa kemudian membaca salam dengan salam yang terdengar
sampai kepada kami; lalu shalat dua raka’at sambil duduk setelah ia baca salam,
kemudian ia shalat lagi satu raka’at. Itulah sebelas raka’at semuanya, hai
anakku.” (HR.
Abu Dawud)
Mengenai
hadis Abdullah bin Qais, Tarjih memberi catatan penjelasan bahwa yang dimaksud Shahabat
Abdullan bin Abi Qais pada pernyayaannya ialah bilangan raka’at yang dikerjakan
oleh Nabi sepanjang malam hari.
Sedangkan
mengenai surat yang dibaca setelah al-Fatihah di setiap raka’at shalat lain,
Tarjih tidak menentukan nama suratnya, melainkan hanya menyebutnya surat dari
Al-Qur’an.
Dasarnya
ialah hadis dari Aisyah, yang artinya:
Aisyah pernah ditanya
tentang shalat Rasulullah di tengah malam lalu ia mengatakan: “Ia kerjakan
shalat Isya dengan berjamaah kemudian ia kembali kepada keluarganya, lalu
shalat empat raka’at kemudian ia pergi ke peraduannya lalu tidur, di arah
kepalanya terletak tempat air wudhu yang ditutupi dan sikat gigi, sampai ia
dibangunkan Allah pada saat ia dibangunkan pada tengah malam, ia lalu menggosok
giginya dan berwudhu, dengan sempruna kemudian pergi ke tempat shalat lalu ia shalat
delapan raka’at.
“Dalam raka’at-raka’at
itu ia membaca fatihah dan surat al-Quran dan ayat-ayat lainnya. Ia tidak duduk
(untuk tahiyat awal) selama itu kecuali pada raka’at ke delapan dan tidak
menutup dengan salam. Pada raka’at ke sembilan ia membaca seperti seblumnya
lalu duduk tahiyat akhir membaca doa dengan macam-macam doa dan mohon kepada
Allah serta menyatakan keinginannya kemdian ia membaca salam sesekali dengan
suara keras yang hampir membangunkan isi rumah karena nyaringnya. Kemudian ia
shalat sambil duduk dengan memabca Fatihah dan ruku’ sambil duduk lalu ia
kerjakan raka’at kedua serta ruku’ dan sujud sambil duduk kemudian membaca doa
sepuas hatinya dan akhirnya menutup dengan salam dan lalu bangkit pergi.
“Demikianlah selalu
shalat Rasulullah sampai akhirnya bertambah berat badannya. Maka lalu yang
sembilan raka’at itu dikurangi dua sehingga menjadi enam dan tujuh ditambah dua
raka’at yang dikerjakan sambil duduk. Demikianlah dikerjakan sampai Nabi wafat.
(HR Abu
Dawud)
Tarjih
menerangkan mengenai bilangan enam dan tujuh dalam hadis di atas, yaitu bahwa
Nabi mengerjakan shalat enam raka’at lalu duduk untuk tahiyat awwal kemudian berdiri dan pada raka’at ketujuh menutupnya
dengan salam lalu shalat dua raka’at sambil duduk”. Dari hadis tersebut di atas
itulah didapati pengertian mengenai mudahnya mengerjakan shalat lail, sehingga tidak mengharuskan
bilangan raka’at sebelas, tetapi asalkan gasal.
Abdul
Munir Mulkhan menulis, apa yang tercantum di HTP Muhammadiyah dalam masalah
shalat lail berbeda dengan praktik
kebiasaan di kalangan warga Muhammadiyah, khusunya yang menyangkut jumlah raka’at.
Hal ini juga bisa dilihat pada putusan Tarjih mengnai jumlah raka’at witir.
b.
Shalat
witir
Kalau
dalam praktik dan kebiasaan warga Muhammadiyah melakukan witir 3 raka’at, dalam
HTP diterangkan bahwa witir tidak harus 3 raka’at. Melainkan, bisa 1, 3, 5,
atau 9 raka’at. Dasar pelaksanaan witir 3 raka’at adalah sebagaimana hadis dari
Aisyah tersebut di atas.
Berikut
akan dikemukakan penjelasan Tarjih mengenai ragam jumlah raka’at witir,
sebagaimana telah ditulis Abdul Munir Mulkhan (2007):
a. Satu
atau tiga raka’at. Ragam jumlah raka’at witir satu atau tiga demikian
berdasarkan dua buah hadis Aisyah yang artinya sebagai berikut:
“Adapun
Rasulullah mengerjakan shalat pada waktu antara ia selesai shalat Isya yaitu
yang orang namakan ‘atamah hingga fajar sebelas raka’at dengan membaca salam
antara dua raka’at lalu shalat witir satu raka’at, kemudian apabila muadzin
telah selesai seruan shubuhnya, dan terlihat olehnya akan fajar dan Bilal menghampirinya
ia lalu shalat dua raka’at singkat-singkat kemudian berbaring pada lambung
kanan sampai muadzin datang kepadanya untuk seruan iqamah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dasar lainnya adalah:
“Asisyah
menerangkan: “Adapun Rasulullah mengerjakan shalat witir tiga raka’at dengan
tidak dipisah-pisahkan (HR.
Ahmad, Nasai, Baihaqi, dan Hakim mengatakan bahwa hadis shahih menurut
persyaratan Bukhari dan Muslim)
b. Lima
atau tujuh raka’at. Penjelasan tarjih mengenai jumlah raka’at witir menyatakan
bahwa bilangan raka’at witir dpat terdiri dari lima atau tujuh raka’at dengan
duduk pada penghabisannya. Dasar dari ragam jumlah raka’at witir di ata ialah
hadis Abu Hurairah, Airyah, Ummi salamah dan Ibnu Abbas.
Hadis Abu Hurairah, yang
artinya:
Dari
Nabi Saw, ia berkata: “Jangan mengerjakan witir tiga raka’at seperti shalat
maghrib (dengan tahiyat awal). Hendaklah kamu kerjakan lima atau tujuh
raka’at”. (HR.
Daraquthni, Ibu Hibban, dan Hatim dengan kata-kata yang berbeda. Kata al Iraqi
sanadnya shohih)
Hadist Aisyah, yang
artinya:
Rasulullah
sering mengerjakan shalat malam tiga belas raka’at dengan perhitungan lima
daripadanya selaku witir yang ia kerjakan terusan tanpa duduk kecuali pada
akhirny” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hadist Ummi Salamah, yang
artinya:
“Rasulullah
selalu mengerjakan witir tujuh atau lima raka’at tanpa dipisah antara semuanya
dengan bacaan salam atau lainnya.(HR. Nasai dan Ibnu Majah)
Dan hadis Ibnu ‘Abbas,
yang artinya:
“Kemudian
Nabi shalat tujuh atau lima raka’at dengan pengertian witir, yang tidak ia
memabca salam kecuali pada raka’at terakhir.” (HR. Abu Dawud)
c. Tujuh
raka’at. Penjelasan tarjih mengenai ragam bilangan witir menyatakan bahwa
berjumlah tujuh raka’at dengan duduk tasyahud
awwal pada raka’at keenam dan diakhiri pada raka’at ketujuh dengan duduk
untuk salam. Dasarnya ialah hadis Sa’ad bin hisyam, yang artinya sebagai
berikut:
“Maka
setelah ia bertambah berat badannya karena usia lanjut, ia kerjakan witir tujuh
raka’at dengan hanya duduk antara yang keenam dan yang ketujuh untuk hanya
membaca salam pada raka’at yang ketujuh.” (HR. Ahmad, Nasai, dan Abu Dawud)
d. Sembilan
Raka’at. Tarjih menyatakan bahwa ragam jumlah bilangan raka’at witir ada yang
mencapai sembilan raka’at. Dalam hal ini tarjih menyatakan bahwa jumlah witir
ialah sembilan raka’at dengan duduk tasyahud awwal pada raka’at kedelapan dan
diakhiri pada raka’at kesembilan dengan duduk untuk salam.
Penjelasan mengenai
jumlah raka’at sebanyak sembilan raka’at tersebut didasarkan sumber dalil dari
hadis Aisyah sebagaimana telah dikutip dalam bahasan mengenai ketentuan membaca
fatihah dan surat dari al-Qur’an sebagaimana telah tersebut di atas.
Kemudian,
mengenai surat-surat yang dibaca dalam shalat witir sebagaimana kebiasaan
Rasulllah, dalam HTP dijelaskan bahwa surat yang dibaca ialah surat al-A’la
sesudah membaca al-Fatihah pada raka’at pertama. Selanjutnya, membaca surat
al-Kafirun pada raka’at kedua, sementara itu surat al-Ikhlas dibaca pada raka’at
ketiga. Cara demikian ini berdasarkan hadis Ubai Bin Ka’ab yang artinya:
Bahwasannya, Nabi saw
pada shalat witir, ia membaca: “Sabbihisma rabikal a’la dan “Qul ya-ayyuhal
kafirun” pada raka’at kedua dan: “Qulhuwallahu ahad’ pada raka’at ketiganya.” (HR. Nasai dan Tirmidzi
serta Ibnu majah)
Demikianlah
pendapat Muhammadiyah berkaitan dengan shalat lail, qiyamu Ramadhan, atau tarawih dan juga shalat witir. Ternyata
memang cukup panjang sehingga dimasukkan dalam sub bab khusus, tidak digabung
dengan shalat sunnah atau ‘tathawwu’ yang lain.
- Nahdhatul Ulama (NU)
- Shalat tarawih
NU memiliki basis massa tidak hanya dipelosok-pelosok
pedesaan, tetapi juga di pesantren-pesantren. Praktik shalat tarawih di
lingkungan pesantren dan luar pesantren yang nota bene masih sama-sama NU
ternyata memiliki ciri khas sendiri-sendiri. Jumlah raka’atnya kalangan NU
menyepakati yang 20 raka’at ditambah dengan 3 raka’at witir. Ciri khas tersebut
terletak pada suratan yang dibaca setelah fatihah.
Sebelum lebih jauh ke sana, barangkali lebih tepat jika kita
bahas lebih dulu mengenai dasar-dasar yang digunakan NU berkaitan dengan shalat
tarawih. Bahwa shalat tarawih secara berjamaah adalah mengikuti tuntunan dari
shahabat Umar bin Khaththab r.a. dan Sahabat Umar beserta pada shabat yang lain
menjalankannya 20 raka’at ditambah 3 raka’at witir. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam kitab al-Muwaththa’, juz I, yang artinya sebagai berikut:
Dari Yazid bin Hushaifah, “Orang-orang (kaum muslimin) pada masa Umar melakukan shalat tarawih di
bulan Ramadhan 23 raka’at.”
Selain
dasar di atas, sebagaimana ditulis KH Munawwir Abdul Fattah dari Pesantren Krapyak Yogyakarta, bahwa Warga Nahdliyyin yang
memilih Tarawih 20 raka’at ini berdasar pada beberapa dalil. Dalam Fiqh as-Sunnah Juz II,
disebutkan bahwa mayoritas pakar hukum Islam sepakat dengan riwayat yang
menyatakan bahwa kaum muslimin mengerjakan shalat pada zaman Umar, Utsman dan
Ali sebanyak 20 raka’at.
Juga
berdasar dari hadis Ibnu Abbas yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW shalat
Tarawih di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 Raka’at ditambah Witir. (HR Baihaqi dan Thabrani).
Ibnu
Hajar juga menyatakan bahwa Rasulullah shalat bersama kaum muslimin sebanyak 20
raka’at di malam Ramadhan. Ketika tiba di malam ketiga, orang-orang berkumpul,
namun Rasulullah tidak keluar. Kemudian paginya beliau bersabda:
“Aku
takut kalau-kalau tarawih diwajibkan atas kalian, kalian tidak akan mampu
melaksanakannya.”
Hadits
tersebut di atas disepakati kesahihannya dan tanpa mengesampingkan hadits lain
yang diriwayatkan Aisyah yang tidak menyebutkan raka’atnya. (Dalam hamîsy Muhibah, Juz II,
hlm.466-467)
Hadis
lengkapnya adalah sebagai berikut:
“Pada suatu
malam Rasulullah saw. keluar dan shalat di masjid, maka ada beberapa bermakmum
padanya dan pada pagi harinya orang bicara, bahwa ia telah shalat bersama Rasulullah
semalam, maka berkumpullah orang-orang dan ikut shalat bersama Nabi saw. Dan
pada pagi hari mereka juga memberitahu kepada kawan-kawannya sehingga banyak
orang yang shalat di malam ketiga, dan Rasulullah saw. tetap keluar untuk
shalat bersama mereka, kemudian pada malam keempat penuhlah masjid sehingga
tidak muat masjid karena banyaknya orang, tetapi Rasulullah saw sengaja tidak
keluar kecuali setelah adzan subuh untuk shalat subuh, kemudian setelah shalat
subuh menghadap kepada Shahabat dan membaca dua kalimat syahadat lalu bersabda:
Amma ba’du, sebenarnya keadaanmu semalam telah aku ketahui, tetapi sengaja aku
tidak keluar karena kuatir kalau-kalau shalat malam ini diwajibkan atas kalian
sehingga kalian mereasa tidak kuat melaksanakannya.” (HR. Bukkhari dan
Muslim)
Demikianlah
dasar shalat tarawih di kalangan NU, meskipun tidak terlalu panjang tetapi
sudah dianggap cukup untuk mengambil cara pelaksanaan shalat tarawih yang 20 raka’at.
Ciri
khas pelaksanaan shalat tarawih di “masjid-masjid NU” yakni biasanya ada
seorang petugas yang dikenal dengan istilah bilal yang tugasnya adalah akan
mengumumkan tibanya shalat tarawih.
Shalat
tarawih dikerjakan dengan cara dua raka’at salam. Pada tiap raka’at pertama
biasanya setelah al-Fatihah membaca surat-surat pendek, yang diawali dengan
surat at-Takastur, demikian seterusnya hingga pada surat al-Lahab. Sementara
untuk raka’at yang kedua suratan yang dibaca adalah surat al-Ikhlas.
Para
imam Tarawih NU umumnya, demikian Munawir Fattah memilih shalat yang tidak perlu bertele-tele.
Sebab ada hadits berbunyi: "Di
belakang Anda ada orang tua yang punya kepentingan.” Maka, 23 raka’at
umumnya shalat Tarawih lengkap dengan Witirnya selesai dalam 45 menit.
Tetapi
di lingkungan pesantren terkadang berbeda. Ada beberapa “pesantren NU” yang
mengerjakan tarawih dengan membaca surat-surat yang panjang. Dalam 20 raka’at
tarawih ada yang sampai menyelesaikan 2 juz al-Qur’an. Apa yang dilakukan di
pesantren tidak berbeda jauh dengan shalat tarawih di Masjidil Haram, Makkah.
Di sana, 23 raka’at diselesaikan dalam waktu kira-kira 90-120 menit. Surat yang
dibaca imam ialah ayat -ayat suci Al-Qur’an dari awal, terus berurutan menuju
akhir Al-Qur’an.
b. Shalat Witir
Shalat
witir sebagai penutup shalat tarawih di kalangan NU dikerjakan 3 raka’at dengan
cara dua raka’at salam dan diteruskan dengan satu raka’at salam.
Hal
tersebut sesuai dengan apa yang tertulis dalam kitab Shalat al-Tarawih fi Masjid al-Haram
bahwa shalat Tarawih di Masjidil Haram sejak masa Rasulullah, Abu
Bakar, Umar, Usman, dan seterusnya sampai sekarang selalu dilakukan 20 raka’at
dan 3 raka’at Witir.
Untuk
suratan yang dibaca setelah al-Fatihah dalam shalat witir, pada raka’at pertama
dianjurkan surat al-A’la dan raka’at kedua adalah surat al-Kafirun. Hal ini senada
dengan Muhammadiyah dan dasar yang digunakan juga sama. Yang berbeda adalah raka’at
witir yang ketiga.
Raka’at
witir yang ketiga dikerjakan sendiri, atau dengan 1 raka’at. Biasanya surat
yang dibaca secalah al-Fatihah adalah surat al-Ikhlas, ditambah al-Falaq, dan
an-Nas. Selain itu pada separuh terakhir bulan ramadhan, pada raka’at yang
ketiga ini, setelah bangun dari rukuk dilakukan pembacaan qunut, biasa disebut
dengan qunut witir.
0 comments:
Posting Komentar